Sejak lama, keprihatinan terhadap pembelajaran sastra muncul dengan berbagai versi dan sudut pandang. Ironisnya, wujud keprihatinan tersebut lebih banyak dialamatkan kepada guru yang mengapuh mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Sejak pemberlakukan kurikulum 1975 sampai kurikulum Kurikulum Berbasis Komptensi (tahun 2004) belum memperlihatkan hasil yang optimal. Pertanyaan yang sering muncul bagi pemerhati sastra adalah “Benarkah demikian adanya ?” dan kalau benar, “Separah apakah pembelajaran sastra tersebut ?”. Untuk mengklarifikasi permasalahan tersebut, berikut ini diuraikan tanggapan dari para pemerhati sastra yang berhasil dihimpun dari media “Gerbang”.
Menurut Djabrohim, Dekan FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, pengajaran sastra di sekolah mengalami dua masalah, yakni, (1) masih terus terdengarnya gaung mengenai keterbelakangan, ketersia-siaan, kemandekan, dan pelecehan terhadap sastra yang terbukti lewat asumsi atau bahkan kenyataan bahwa minat, perhatian, penghargaan, dan tingkat apresiasi sastra masyarakat yang masih rendah dan (2) isu kegagalan pengajaran sastra masih belum hilang. Tahun 70-an, H.B. Jassin mengungkap kegagalan sastra. Dua puluh tahun kemudian, isu kegagalan itu masih nyaring terdengar. Isu tersebut digulirkan oleh Sapardi Djoko Damono (pada pertemunan ilmiah nasional HISKI tahun 1992) dan Taufiq Ismail (dalam Kongres Kesenian I tahun 1993 di Jakrta). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Taufiq Ismail di Universitas Ahmad Dahlan akhir Mei 2005. (Gerbang, Edisi 10 Th IV-2005: 22)
Eko Sugiarto, salah seorang mahasiswa UGM Yogyakarta jurusan Sastra Indonesia, mengklaim bahwa minimnya materi sastra di bangku sekolah mau tidak mau harus diakui. Hal ini dapat dilihat pada tidak adanya mata pelajaran sastra pada kurikulum di sekolah. Materi-materi sastra tidak lebih dari selingan dalam pelajaran bahasa Indonesia. Realita ini membuat pemahaman sastra para siswa bahkan mungkin guru semakin sempit. (Gerbang, Edisi 10 Th IV-2005: 39)
IGK Tribana, guru SMU Negeri 6 Denpasar Bali, yang menyoroti mutu pembelajaran sastra melalui tes pilihan ganda, utamanya Ujian Nasional. Menurutnya, kegiatan apresiasi sastra menjadi korban dari sistem penilaian. Tes pilihan ganda telah mengerdilkan kreativitas anak dalam mengapresiasi karya sastra. Pembelajaran sastra boleh dikatakan salah satu korban dari sistem penilaian dengan menggunakan tes pilihan ganda. Selain itu, kegagalan pembelajaran sastra diakibatkan karena sekarang ini kebanyakan guru Bahasa dan Sastra Indonesia kurang gemar membaca karya sastra. Guru hanya menyuruh siswanya membaca, sedang guru sendiri malas membaca. (Gerbang, Edisi 10 Th IV-2005: 43)
Kegagalan pembelajaran sastra karena faktor guru, juga dipaparkan oleh Rahman Hanafiah, Guru SMA Adidarma Banda Aceh. Menurutnya, Pengajaran sastra di sekolah umumnya kurang mendapat perhatian dari para guru pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Minimnya perhatian guru terahadap pelajaran sastra disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, guru yang mengajarkan pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bukan professional di bidang sastra, mereka tidak dididik khusus untuk berkompetensi di bidang sastra. Keadaan tersebut diperparah lagi oleh tidak adanya mata pelajaran khusus untuk sastra. Mata pelajaran sastra diintegrasikan dengan mata pelajaran bahasa Indonesia.
Kedua, sedikitnya literatur sastra yang dimiliki dan dibaca oleh guu mata peljaran Bahasa dan Sastra Indonesia, menyebabkan wawasan atau pengetahuan sastra mereka menjadi kurang. Literatur tersebut seperti buku teori sastra, apresiasi sastra, sejarah sastra, metode pengajaran sastra, dan lain sebagainya, tidak mereka miliki secara pribadi. Di perpustakaan pun sangat minim dan tidak memadai. Kebanyak guru bermodalkan materi ajar yang sangat singkat dan umum di dalam buku paket Bahasa dan Sastra Indonesia, seperti puisi, cuplikan cerpen, novel, dan drama. Bahkan ironisnya guru cenderung mengajar siswa hanya supaya gugur tugas mengajarnya. Hal ini mengakibatkan pelajaran sastra terasa membosankan dan kurang menarik bagi siswa. Bahkan bahan ajar sastra cenderung dilewati begitu saja.
Ketiga, kurangnya kreativitas guru, ditandai dengan tidak beraninya guru menginterpretasikan karya sastra seperti puisi, cerpen, novel, atau roman yang mereka ajarkan. Hal ini mengakibatkan pengajaran sastra menjadi monoton dan kurang menarik, bahkan membosankan bagi siswa dan guru itu sendiri. (Gerbang, Edisi 10 Th IV-2005: 59)
Berdasarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kurang optimalnya pembelajaran sastra disebabkan karena (1) kurikulum pengajaran sastra masih terintegrasi dengan pengajaran bahasa Indonesia, (2) guru yang mengajarkan sastra kurang profesional dibidang sastra, dan (3) minimnya buku sastra yang dimiliki siswa, guru, dan sekolah (perpustakaan sekolah)
Menyadari kondisi di atas, persoalan yang perlu dipikirkan sekarang adalah (1) bagaimana menemukan cara terbaik untuk mengajarkan berbagai konsep materi ajar (sastra) kepada siswa, sehingga semua siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut, (2) bagaimana setiap konsep materi ajar dipahami sebagai bagian yang saling berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh, (3) bagaimana guru dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswa yang selalu bertanya tentang alasan, arti sesuatu, dan hubungan dari apa yang mereka pelajari, dan (4) bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari seluruh siswa, sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan cara mengaitkannya dengan kehidupan nyata. Dengan demikian dapat membuka berbagai pintu kesempatan bagi siswa selama hidupnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar