{Profilku} {Pendidikan} {Seni&Sastra} {Serba-Serbi}

Kamis, 05 Mei 2011

CITRA PROGRAM “KELAS BAHASA” DI SEKOLAH LANJUTAN

Tulisan ini merupakan hasil inkubasi penulis setelah mengalami proses iluminasi yang cukup lama. Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk memotret dan mengeksplorasi iklim program bahasa (kelas bahasa) di sekolah (SMA/MA), tetapi bukanlah waktu yang panjang untuk menilai sewajarnya atas kekurangan dan keistimewaannya. Tulisan ini tidak bermaksud mengeritik terhadap sekolah yang tidak memiliki program “kelas bahasa”, tetapi mencoba memberikan PR buat penentu kebijakan di setiap sekolah dengan mengajukan pertanyaan dasar “mengapa kelas bahasa terabaikan”. Tentu saja, PR ini tidak dialamatkan kepada semua sekolah, tetapi cukup disampel dan dialamatkan pada sekolah yang memiliki potensi untuk membina kompetensi kebahasaan dan kesastraan, terutama yang sekolah yang memiliki populasi yang banyak dan memilki kelas “program nonkebahasaan” yang membludak.
Tidak ada niat ekstrim yang terbesit di dalam benak penulis yang mengarah kepada “iri hati” terhadap program nonbahasa, karena penulis sendiri adalah alumni program nonbahasa (IPS) semasa SMA dan menyukai hal-hal yang realis dan natural, cenderung kepada pola berpikir tepat, logis serta terkendali sebagai karaktrisitik disiplin ilmu nonkebahasaan (eksakta)
Kondisi Real “Kelas Bahasa” di Satuan Pendidikan (SMA/MA)
Tidak ada data real (penelitian) tentang jumlah sekolah yang membina program bahasa (kelas bahasa) yang dapat dipersembahkan dalam tulisan ini. Namun, hasil sharing dengan beberapa rekan guru bahasa (Indonesia dan Inggris), pada umumnya memberikan jawaban yang sama, bahwa sekolah yang membuka program bahasa dapat dihitung jari. Kalaupun ada, hanya satu kelas dengan jumlah siswa yang minim. Meskipun pendapat ini masih bersifat hipotesis dan terkesan subjektifitas, namun penulis yakin bahwa hal tersebut menjadi kenyataan ketika kita meluangkan waktu untuk terjun langsung ke lapangan (sekolah). Realitas lain yang tampak adalah keberadaan program bahasa “timbul tenggelam” dari tahun ke tahun, bahkan lebih eksterim lagi program bahasa yang terlanjur dibuka hanya bertahan sampai siswanya tamat, selanjutnya ditutup dalam rentang waktu yang tak terhitung.
Kondisi ini tentu tidak terjadi tanpa sebab-musabab. Banyak faktor yang menyebabkan “kelas bahasa” tidak mampu bertahan dan memperlihatkan prestisenya. Alasan klasik yang paling sering didengar adalah “faktor minat”. Sebagian besar penentu kebijakan di sekolah mengklaim bahwa siswa kurang berminat masuk di program bahasa dengan berdasar pada angket pemilihan jurusan (kelas). Alasan ini benar, fakta menunjukkan bahwa ketika sekolah membuka program bahasa, peminatnya minim, bahkan nyaris tidak ada. Akan tetapi permasalahannya tidak sampai di situ saja. Kita perlu menggali kembali akar permasalahan “minat” tersebut . Jika “minat” yang menjadi alasan, lalu mengapa siswa yang tamat dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi justru banyak yang memilih Program Studi Bahasa (Inggris dan Indonesia), baik kependidikan maupun nonkependidikan. Hasil pengamatan penulis setiap tahun pada saat penerimaan calon mahasiswa baru di dua PTN dan satu PTS terkemuka di Makassar yang membuka program studi bahasa dan sastra memberikan gambaran batapa banyaknya alumni SMA/MA yang berminat terhadap bahasa dan sastra. Ironisnya, tidak sedikit dari mereka (calon mahasiswa) memilih program studi bahasa adalah alumni program nonkebahasaan di SMA/MA. Ini menunjukkan bahwa faktor minat bahasa dan sastra “ada” pada siswa. Pengalaman penulis ketika terlibat dalam beberapa lomba baca puisi dan teater, juga mengamati kegiatan bahasa Inggris (debat bahasa Inggris dan english camp), pada umumnya diikuti oleh siswa dari kelas program nonkebahasan. Berangkat dari pengalaman tersebut, penulis kembali menarik simpulan bahwa potensi bakat dan minat siswa terhadap bahasa dan sastra “ada”. Lalu di mana akar pemasalahnnya?
Menurut pengamatan subjektif penulis, kondisi keterpurukan program bahasa karena sistem dikotomi yang diterapkan sekolah. Sebagian besar stakeholder sekolah masih menganggap bahwa program IPA menempati peringkat pertama, program IPS peringkat kedua, dan program Bahasa pada peringkat ketiga. Belum lagi sistem diskriminasi yang memihak pada tingkat kognitif siswa (nilai rapor). Mereka yang memilki nilai yang tinggi ditempatkan di program IPA, jika kuota program IPA sudah mencukupi, di arahkan ke program IPS, selebihnya kemudian ditampung di program Bahasa. Sistem seperti inilah yang melahirkan sebuah plesetan terhadap program bahasa dengan nama “kelas pembuangan” sebagai sarana menampung siswa yang memiliki tingkat kognitif (IQ) yang rendah. Hal ini sangat berpengaruh pada psikologi siswa ketika disodorkan angket “minat” dalam menentukan pilihan program studi. Mereka malu dan gensi jika berada di “kelas pembuangan”. Padahal siswa tersebut mungkin punya potensi berbahasa Inggris atau potensi bersastra sebagai “bekal dasar” yang kelak akan diperdalam secara spesifik di perguruan tinggi.
Selain faktor “sistem” yang diuraikan di atas, kurangnya minat siswa memilih program bahasa, karena sekolah tidak menyiapkan sarana daya tarik pembelajaran kebahasaan dan kesastraan (semisal Labolatorium). Sekolah lebih memusatkan perhatian untuk melengkapi sarana Labolatorium IPA dibanding Labolarorium Bahasa. Jika ada anggaran dana atau permintaan sarana, maka prioritas utama adalah sarana IPA, sementara sarana kebahasaan menjadi urutan kedua. Kebijakan seperti ini kembali melahirkan plesetan program bahasa dengan nama “kelas anak tiri”. Jika kita mau menengok dari sekolah ke sekolah, pada umumnya sekolah telah memiiki dua labolatorium IPA sementara labolatorium bahasa tidak ada, kalaupun ada kondisinya kurang lebih seperti gudang penyimpanan barang bekas. Belum lagi sarana kesastraan, seperti panggung pementasan dan peralatannya (lighting, sound sistem, musik, dan proferti pementasan lainnya). Minimnya buku keasastraan (novel, antologi puisi, dan kumpulan naskah drama) juga menjadi kendala.
Cukup banyak hal yang menjadi penyebab sehingga program bahasa di SMA/MA kehilangan prestise di mata siswa. Namun fenomena yang diuraikan di atas dianggap cukup untuk dijadikan bahan evaluasi, terutama bagi mereka yang mau peduli dengan program bahasa (kelas bahasa)
Kondisi Ideal; Solusi Mencitrakan “Kelas Bahasa”
Berdasar pada kondisi real di atas, langkah awal yang harus dilakukan adalah komitmen untuk mencitrakan kelas bahasa. Sosialisasi tentang masing-masing program dan prospek ke depan setiap program disampaikan secara seimbang. Menghilangkan kesan di benak siswa bahwa mereka yang belajar di program IPA bukanlah siswa yang memiliki IQ yang lebih tinggi daripada mereka yang belajar di program IPS dan Bahasa. Demikian juga sebaliknya, mereka yang belajar di program IPS dan Bahasa, bukan siswa yang tidak dapat bersaing untuk masuk diprogram IPA. Akan tetapi, siswa yang belajar di setiap program adalah siswa yang memiliki potensi dan keahlian sesuai dengan program yang ditempati. Tentu saja sosialisasi tersebut tidak sekedar retorika belaka, tetapi disertai dengan tindakan nyata, misalnya melengkapi fasilitas yang mereka butuhkan untuk mengembangkan dan potensi dan keahliannya, memberikan pelayanan dan kesempatan untuk mengaktualisasikan dan mengekpresikan bakat dan minatnya, menyiapkan tenaga ahli yang dapat membina potensi kebahasaan siswa. Dengan demikian, siswa betul-betul merasakan bahwa dirinya sejajar dengan siswa yang belajar diprogram lain.
Sistem pembagian kuota setiap program (kelas) harus proporsional, sehingga penyebaran siswa seimbang dan merata berdasarkan potensi. Pembagian kuota harus bercermin pada intake siswa. Siswa yang cas-cis-cus berbahasa Inggris, siswa yang memiliki jiwa estetik dan kesastraan diarahkan ke program bahasa. Namun perlu diingat, bahwa dengan pembagian kuota saja belum cukup, tetapi perlu perhatian dan pembinaan yang profesional sehingga siswa merasakan keistimewaan belajar di program bahasa.
Selain membenahi sistem, pencintraan “program bahasa” juga tidak lepas dari faktor kompetensi tenaga pengajar. Berceloteh di depan siswa tentang teori dan ilmu kebahasaan/sastra, kegiatan PBM yang monoton, siswa selalu dikungkung dalam ruang kelas, semua itu adalah adalah ciri pola pikir divergen yang menjadi sumber kelesuan dan kemandekan siswa untuk memilih program bahasa. Sudah saatnya, pola pikir divergen di ubah menjadi konvergen. Citra “Program Bahasa” memerlukan kreativitas, komitmen, dedikasi tinggi, antusias, percaya diri, serta peka dan tanggap terhadap dinamika pembelajaran. Kebijakan Pemerintah dengan memberlakukan KTSP memberikan kelonggaran bagi guru untuk merancang dan melaksanakan PBM sehingga tampak keterlibatan siswa secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran, mendorong siswa untuk menemukan/mengkonstruksi sendiri konsep yang sedang dikaji melalui penafsiran yang dilakukan dengan berbagai cara, seperti eksplorasi, observasi, diskusi, atau pementasan.
Bahasa dan Sastra sebagai Sarana Pengembangan Daya Nalar Siswa
Mengakhiri problematika “program bahasa” pada tulisan ini, penulis sengaja memunculkan subjudul Bahasa sebagai Sarana Pengembangan Daya Nalar Siswa. Seperti yang telah diuraikan di awal tulisan ini, penulis tidak bermaksud mengundang polemik dengan mempertentangkan ilmu eksakta dan noneksakta. Akan tetapi mencoba memberikan sumbangan pemikiran untuk mencitrakan “program bahasa” di sekolah. Sebagai bahan renungan bagi kita semua, berikut ini konsep pemikiran tentang “bahasa dan penalaran” dari beberapa filosof ilmu penalaran.
• Cassirer, (1944)
Keunikan manusia sebenarnya bukan terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Manusia sebagai animal symbolicum (makhluk yang mempergunakan simbol) yang secara generik mempunyai cakupan yang lebih luas daripada homo sapiens (makhluk yang berpikir), sebab dalam kegiatan berpikirnya manusia mempergunakan simbol. Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur mustahil dapat dilakukan.
• Menurut Huxley, (1962)
Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak seperti yang dilakukan dalam kegiatan ilmiah. Binatang tidak diberkahi dengan bahasa yang sempurna sebagaimana yang dimiliki manusia, sehingga binatang dapat berpikir dengan baik dan mengakumulasikan pengetahuannya lewat proses komunikasi, seperti manusia mengembangkan ilmunya.
• Moody, H.L.B. (1971)
Proses berfikir logis (yang adalah bagian dari penalaran) banyak ditentukan oleh hal-hal seperti ketepatan pengertian, ketepatan interpretasi kebahasaan, klasifikasi dan pengelompokan data. Dijelaskannya, bahwa pembelajaran sastra akan sangat membantu para siswa melakukan latihan dalam memecahkan masalah-masalah berfikir logis itu, karena pembelajaran sastra juga meliputi kecakapan-kecakapan pilihan seperti dugaan, kebiasaan, tradisi, dorongan, dan sebagainya.
Cukup banyak konsep yang bertebaran di hadapan kita tentang pentingnya bahasa terhadap penalaran. Namun menurut hemat penulis, ketiga buah pemikiran tokoh penalaran di atas sudah cukup menjelajahi pemikiran bagi pihak yang ingin mengembangkan daya nalar siswa. Sebagai penutup dari tulisan ini, berikut ini dikutip hasil penelitian Dawud (Universitas Negeri Malang) yang meneliti penalaran dalam tuturan bahasa Indonesia siswa Sekolah Dasar.
Dawud (1998) menemukan bahwa siswa dapat menjadi pemikir yang baik, jika me¬miliki kesempatan untuk berlatih menerapkan pengetahuan bernalar yang te¬¬lah di¬pelajarinya. Pengembangan kemampuan bernalar dapat dilakukan dengan mengem¬bang¬kan kemampuan pemecahan masalah melalui pengajaran keterampil¬an berbaha¬sa. Perkembangan berpikir siswa akan mengalami percepatan pada ta¬hap operasi-formal, hal tersebut terjadi diduga karena interaksi sosialnya, yakni mela¬lui pengajaran, peng¬¬¬galian informasi, dan penggunaan bahasa sehari-hari.
Berdasarkan hasil penelitian Dawud, penulis berpendapat bahwa pembelajaran bahasa di pendidikan dasar saja telah terbukti mampu mengembangkan daya nalar siswa, terlebih lagi jika siswa dibekali kemampuan berbahasa di tingkat pendidikan menengah. Remaja tingkat SMA/MA/SMK yang berusia sekitar 16-19 tahun, berada dalam tingkat perkembangan yang disebut tahap operasi formal, suatu tahap perkembangan kognitif (daya nalar) di mana struktur kognitif anak mencapai tingkat perkembangan paling besar dan anak menjadi cakap untuk mengaplikasikan logikanya pada semua persoalan. Perkembangan kognitif ini akan mencapai tingkat yang sempurna, bila ditunjang oleh semua perkembangan kognitif lain, seperti kematangan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), interaksi sosial, dan kemajuan secara menyeluruh dan berimbang. Perkembangan kognitif ini akan menjadi landasan perkembangan kognitif yang lebih meningkat, yang oleh Cowan disebut kreativitas, psikedelia (psychedelia), dan iluminasi (illumination).
Ditinjau dari segi Ilmu Jiwa Perkembangan, maka anak usia SMA/MA/SMK sedang mengalami masa pubertas atau adolesen, di mana diperlukan aktivitas yang positif yang dapat menyalurkan derai badai dan topan jiwa dan perkembangan kognitif anak. Di sinilah letak relevansi dan signifikansi pembahasan tentang pengembangan daya nalar dalam pembelajaran sastra. Sistem pembelajaran sastra menyediakan kesempatan-kesempatan bagi siswa untuk menjelajahi masalah, berekspresi dan mengungkapkan pendapat dengan bebas agar daya nalar dapat berkembang secara normal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar