{Profilku} {Pendidikan} {Seni&Sastra} {Serba-Serbi}

Sabtu, 09 Oktober 2010

JARUM SEJARAH PENGETAHUAN

Ketika saya masih duduk di bangku SMP, sebagian besar waktu saya terhabiskan di area terminal (sekarang Bank Sulawesi Selatan). Maklum, waktu itu orangtua saya berprofesi sebagai penjual es dan makanan. Pulang dari sekolah, saya ganti pakaian dan langsung ke terminal membantu orangtua mengurus jualannya hingga ba’da Isya. Sudah pasti, hari ahad dan hari liburan lainnya waktu saya di terminal tersebut mulai pagi sampai malam. Rutinitas tersebut saya jalani sampai saya berhasil menyelesaikan pendidikan di SMP. Memasuki jenjang SMA, jualan orangtua saya macet karena digusur paksa oleh pemerintah dengan alasan renovasi terminal. Orangtua saya terpaksa mencari lokasi jualan di luar area terminal, sementara saya tetap menghabiskan waktu di terminal tersebut dengan beralih profesi menjadi pedagang asongan (rokok) guna memenuhi kebutuhan sekolah di SMA karena penghasilan orangtua saya drastis menurun saat keluar dari area terminal.
Selama ± 6 tahun bergelut dengan kehidupan terminal Sengkang, satu profesi yang sangat melekat dalam skemata saya, yakni penjual obat. Begitu melekatnya profesi ini dalam benak saya, hampir semua penjual obat saya kenal walaupun hanya dengan mendengar style suaranya ketika beretorika di tengah-tengah kerumunan calon pembelinya. Bahkan jenis obat yang ditawarkan pun bisa saya tebak tanpa harus mendekat atau berada di tengah kerumunan orang. Demikian juga segala jenis dan bentuk permainannya (entah yang sifatnya akrobat ataupun sulap, serta berbagai jenis keahlian supranatural yang dimiliki oleh penjual obat tersebut). Bagi saya, satu hal yang menarik untuk saya utarakan pada pembaca, bahwa berdasarkan pengalaman saya waktu itu, dari sekian banyak penjual obat yang silih berganti, rata-rata mengklaim dirinya “raja obat” dengan menjajakan obat “panacea” yang berkasiat mengobati berbagai jenis penyakit. Mulai dari penyakit urat kaku, pegel linu, darah tinggi, sakit bengek, eksim, keputihan, sukar tidur, hilang nafsu makan, kurang jantan, dan berbagai jenis penyakit lainnya. Dengan bahasa persuasif “makan tablet ini tiga kali sehari, semua penyakit Anda sembuh”.
Hingga akhirnya, saya meninggalkan terminal dengan segala aktivitas manusia di area tersebut, karena saya berhasil lulus UMPTN dan diterima di IKIP Ujungpandang (sekarang UNM) sampai akhirnya status sosial saya telah berubah, tentu saja pengetahuan saya juga telah berubah. Dulu saya hanya begelut dengan “ilmu bisnis” kecil-kecilan, sekarang lebih pada “ilmu profesi keguruan” dan mengantar saya menjadi sarjana pendidikan. Merasa “ilmu pengetahuan” yang saya mililki perlu di update, saya berusaha belajar otodidak dengan membaca berbagai literatur. Hingga pada suatu ketika saya membaca buku yang tulis oleh Jujun S. Suriasumantri yang berjudul Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Di bagian 11 (halaman 101) saya tertarik membaca tulisan beliau “Jarum Sejarah Pengetahuan”.
Ternyata, “raja obat” (seperti yang saya ungkapkan pada awal tulisan ini) yang mampu mengobati segala macam penyakit adalah warisan dari pengetahuan zaman dahulu, di mana pada waktu itu perbedaan antara ujud yang satu dengan ujud yang lain belum dilakukan. Pada masyarakat primitif, perbedaan antara berbagai organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku, umpamanya, bisa menangkap hakim, penguhulu yang menikahkahkan penglima perang, guru besar atau tukan tenung. Sekali kita menempati status tertentu dalam jenjang kemasyarakatan maka status itu tetap, ke mana pun kita pergi, sebab organisasi kemasyarakatan pada waktu itu (tempo doloe) hakikatnya hanya satu. Jadi, sekali menjadi seorang ahli maka seterusnya dia akan menjadi seorang ahli. Simpulannya, “raja obat” yang ceritakan di atas, merupakan produk dari pengetahuan tempo doloe. Kriteria “kesamaan” dan bukan “perbedaan” yang menjadi konsep dasar tempo doloe. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara objek yang satu dan objek yang lainnya. Pantas saja pada era tempo doloe, di berbagai kampung seorang yang ahli dalam baca-baca (Bugis) akan dianggap memiliki keahlian dalam berbagai acara ritual, baik dalam bidang pertanian, peternakan, perdagangan, perkawinan, kebatinan, perdagangan, dan entah apa saja. Meskipun pada kenyataannya ia bukan petani, peternak, pedagang. Sehari-harinya adalah katte atau suro (pengelolah masjid).
Lebih lanjut diuraikan Suriasumantri, konsep dasar tersebut baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya abad penalaran (the age of reason) pada pertengahan abad 17. Dengan berkembangnya abad penalaran, maka konsep dasar “kesamaan” berubah menjadi “pembedaan”. Dengan demikian, timbullah spesialisasi ilmu pengetahuan dengan konsekuensinya mempersempit ruang lingkup pekerjaan. Masing-masing cabang pengetahuan (disiplin ilmu) berkembang menurut jalannya sendiri sehingga tampak perbedaan antara disiplin ilmu yang satu dengan disiplin ilmu yang lain (tentu saja ruang lingkup pekerjaan berbeda pula).
Menurut hemat saya, perubahan tersebut kemudian melahirkan sebuah statmen dalam manajemen kepemimpinan, yakni the right man, on the right job (menempatkan seseorang berdasarkan bidang keahliannya atau disiplin ilmunya). Namun, di penghujung abad XX ini ternyata masih banyak orang yang ingin memutar kembali jarum sejarah pengetahuan dengan mengaburkan batas-batas otonomi masing-masing disiplin keilmuan dengan dalih pendekatan inter-disipliner. Misalnya, mata pelajaran bahasa Indonesia di ajarkan oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Biologi. Demikian juga misalnya, seorang mahasiswa (di salah satu PTS) yang tengah menyelesaikan tugas akhirnya (skripsi) dibimbing oleh dosen yang tidak linier dengan disiplin ilmu mahasiswa yang bersangkutan. Bahkan, lebih memprihatinkan lagi lagi, pada saat ujian akhir, mahasiswa jurusan X diuji oleh dosen yang disiplin ilmunya (dari jurusan) Y.
Pendekatan inter-disiplier memang kadang-kadang dibutuhkan dalam menjawab tantangan nyata kehidupan yang semakin kompleks. Namun, tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing disiplin keilmuan. Apalagi disiplin ilmu yang jelas sekali perbedaan route-nya. Tentang hal ini, kembali saya ingin berbagi cerita kepada pembaca.
“Saya adalah Dr. Polan, ahli burung betet betina”, demikian seorang memperkenalkan diri dalam abad spesialisasi ini. Jadi ia bukan ahli zoologi, atau ahli burung. Dia ahli betet khas betet betina.
“Ceritakan, pak, bagaimana membedakan burung betet betina dengan betet jantan !” tanya seseorang.
“Burung betet jantan makan cacing betina sedangkan burung betet betina makan cacing jantan” jawab Dr. Polan.
“Bagaimana membedakan cacing jantan dengan cacing betina ?” kembali orang tersebut bertanya kepada Dr. Polan
“Wah, itu di luar profesi saya dan keahlian saya. Saudara harus bertanya kepada seorang ahli cacing.
Anekdot di atas, tampaknya humoris. Namun sangat memberikan pelajaran bagi kita untuk menempatkan diri kita sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, sehingga kinerja kita benar-benar bermakna, ada hasil (output) dan ada manfaatnya (outcome). Tidak sekedar menduduki jabatan untuk kepentingan prestise atau karena kepentingan politik praktis, lebih-lebih karena many polityc. Kalau kita ahli teknik bangunan, tidak sekedar menghasilkan bangunan (misalnya, jembatan), tetapi lebih dari itu bangunan tersebut benar-benar bermanfaat untuk kehidupan. Kalau jembatan itu berhasil kita bangun tetapi tidak bermanfaat karena lokasi yang tidak strategis untuk aktivitas perjalanan masyarakat, saya pikir itu adalah ide yang membuang-buang anggaran saja. Di sinilah pentingnya disiplin ilmu yang spesifik, paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui, dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan.
Mengakhiri tulisan ini, saya kembali menegaskan penyataan Suriasumantri bahwa, pendekatan inter-disipliner di era globalisasi ini, bukan merupakan fusi antara berbagai disiplin ilmu yang akan menimbulkan anarki keilmuan, melainkan suatu faderasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, di mana tiap disiplin ilmu dengan otonomnya masing-masing saling menyumbangkan analisisnya dengan mengkaji objek yang menjadi telaah bersama. (Sengkang, 13 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar