Dewasa ini praktik pendidikan di Indonesia cenderung lebih berorentasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis) yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient (IQ), namun kurang mengembangkan kemampuan soft skill yang tertuang dalam emotional intelligence (EQ), dan spiritual intelligence (SQ). Pembelajaran di berbagai sekolah lebih menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian. Sebagian besar guru masih memiliki persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensi yang baik adalah memiliki nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi.
Seiring perkembangan jaman, pendidikan yang hanya berbasiskan hard skill yaitu menghasilkan lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam akademis, harus mulai dibenahi. Sekarang pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan soft skill (interaksi sosial) sebab ini sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Pendidikan soft skill bertumpu pada pembinaan mentalitas agar peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill) saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam (1) olah hati (spiritual and emotional development), (2) olah pikir (intellectual development), (3) olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development)
Beberapa penemuan penting mengenai hal pendidikan karakter, antara lain hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
HAKIKAT PENDIDIKAN KARAKTER
Secara akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerrti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour
Karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari
Pembentukan karakter merupakan bagian penting kinerja pendidikan. Karakter merupakan bentuk kepribadian yang melekat pada diri seseorang. sebagaimana hadist Rosulullah saw, yang meyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, karena kedua orangtuanyalah (baca: lingkungan) menjadikan anak itu yahudi, nasrani atau majusi (HR. Bukhari). Ini menunjukkan bahwa fitrah atau potensi tidak bisa dibiarkan begitu saja tapi perlu ditumbuhkan, sebagaimana benih yang baik, kalau ditanam ditanah yang subur dan dirawat (disiram dan dipupuk) dengan baik, maka benih itu akan tumbuh menjadi tanaman yang subur dan berbuah banyak. Demikian juga dengan karakter yang merupakan bagian dari potensi anak , harus dibina dan dididik dengan baik, biar menjadi anak yang shaleh dan bermanfaat.
PEMBINAAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI MANAJEMEN PMR
Kegiatan ekstrakurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstrakurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Palang Merah Remaja (PMR) adalah wadah pembinaan dan pengembangan anggota remaja PMI dengan tujuan membangun dan mengembangkan karakter anggota PMR yang berpedoman pada Tri Bakti PMR dan Prinsip Kepalangmerahan untuk menjadi relawan masa depan. Kebijakan PMI dan Federasi tentang remaja bahwa (1) remaja merupakan prioritas pembinaan, baik dalam keanggotaan maupun kegiatan kepalangmerahan, (2) remaja berperan penting dalam pengembangan kegiatan kepalangmerahan, (3) remaja berperan penting dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan, dan proses pengambilan keputusan untuk kegiatan PMI, (4) remaja calon pemimpin Palang Merah masa depan, dan (5) remaja adalah kader relawan. Oleh karena itu, pola pembinaan “konvesional” yang berorientasi pada “rekrut-latih-lomba” sudah harus ditinggalkan dan diganti dengan pembinaan yang berorientasi pada “rekrut-latih-tri bakti” untuk menyiapkan anggota PMR menjadi calon relawan masa depan.
Berdasarkan Pedoman Manajemen PMR, siklus pembinaan PMR melalui empat tahap, yakni (1) perekrutan, (2) pelatihan, (3) Tribakti, dan (4) pengakuan dan penghargaan. Keempat tahap tersebut senatiasa dipantau dan evaluasi.
1. Tahap Perekrutan
Perekrutan adalah peningkatan jumlah anggota dan kelompok PMR. Melalui proses promosi, pendaftaran, dan wawancara, maka perekrutan memberitahukan remaja bahwa dengan bergabung dengan PMI, mereka dapat melakukan sesuatu yang memang mereka ingin lakukan. Nilai karakter yang digali dalam tahap ini adalah bepikir logis, kreatif menggali ide, kerja keras
2. Tahap Pelatihan
Mengingat pembinaan PMR terfokus pada pembangunan karakter, maka standarisasi pelatihan PMR berpedoman pada kurikulum PMR, dengan menerapkan 7 (tujuh) materi pelatihan PMR, yaitu (1) Gerakan Kepalangmerahan, (2) Kepemimpinan, (3) Pertolongan Pertama, (4) Sanitasi dan Kesehatan, (5) Kesehatan Remaja, (6) Kesiapsiagaan Bencana, dan (7) Donor Darah. Melalui materi tersebut, nilai karakter yang digali adalah bekerja sama, peduli sesama, menjadi pendidik sebaya, memberikan dukungan, menjadi contoh perilaku hidup sehat
3. Tri Bakti PMR
Ketujuh materi perlatihan PMR tersebut diharapkan dapat menguatkan karakter anggota PMR untuk melaksanakan Tri Bakti PMR. Melibatkan anggota PMR dalam berbagai kegiatan kepalangmerahan merupakan karya dan bakti nyata setelah mengikuti pelatihan, pengakuan, terhadap keberadaan dan kompetensi dalam meningkatkan kualitas anggota dan organisasi, serta memberikan jawaban atas berbagai minat bergabungnya remaja dengan PMI. Nilai karakter yang digali melalui Tri Bakti sebagai berikut:
Tri Bakti PMR Nilai Karakter
Meningkatkan keterampilan hidup sehat Bersih, sehat
Berkarya dan berbakti di masyarakat Kepemimpinan, peduli, kreatif, kerjasama
Mempererat persahabatan nasional dan internasional Bersahabat, ceria
4. Pengakuan dan penghargaan
Peranan pembina PMR sangatlah penting dalam menyampaikan penghargaan dan pengakuan atas peran dan kegiatan PMR. Hal ini akan memberikan dampak yang besar dan sangat efektif. Pengakuan dan penghargaan bertujuan (1) memotivasi PMR agar tetap bersama dengan PMI, (2) ¦memberikan rasa bangga dan kesadaran akan kualitasnya bahwa meskipun masih, (3) remaja mereka dapat berperan untuk kemanusiaan, (4) meningkatkan kepercayaan diri dan komitmen, (5) meningkatkan kualitas kegiatan kepalangmerahan. Pengakuan dan penghargaan dapat diberikan dalam bentuk ucapan selamat, hadiah, sertifikat, plakat, pin uji syarat kecakapan, mengikutsertakan anggota PMR untuk pertukaran remaja dan konferensi, dan acara-acara khusus untuk penghargaan dan pengakuan anggota PMR. Nilai karakter yang digali adalah menghargai karya dan prestasi orang lain, demokratis
Agar anggota PMR dapat memanfaatkan dan mengembangkan seluruh kecerdasan dan potensi dalam penguasaan materi, pelatih, fasilitator, dan pembina PMR menggunakan berbagai metode dan media yang memberikan kesempatan mereka untuk terlibat dalam proses sehingga tertanam karakter
1. Fun learning
Proses belajar dan kegiatan menjadi aktivitas kehidupan riil yang dihayati dengan penuh kegembiraan. Itu membantu anggota PMR menikmati kegiatan dan membangun imaji tentang apa dan bagaimana seharusnya menjadi seorang anggota PMR. Contoh nilai karakter yang ditanamkan adalah berpikir logis, rasa percaya diri, mandiri
2. Learning by doing
Untuk menjadi lebih paham dan mengerti, anggota PMR hanya perlu difasilitasi dalam mempelajari sesuatu. Biarkan mereka mengamati, mengalami, merasakan, dan memahami berbagai macam perbedaan. Biarkan mereka yang merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi hasil kerja mereka. Contoh nilai karakter yang ditanamkan adalah, berpikir logis, kreatif, kerja keras.
3. Spider web
Setiap materi dan kegiatan saling terkait. Ketika belajar siaga banjir, maka akan belajar juga tentang Pertolongan Pertama pada luka atau sakit akibat banjir (diare, demam, akibat terbantur benda keras, luka lecet), sanitasi dan air bersih, belajar bagaimana menerapkan 7 Prinsip dan kepemimpinan jika memberikan pertolongan, cara-cara menyelenggarakan aksi donor darah untuk korban banjir, belajar kandungan gizi yang tepat jika akan menyumbang bahan makanan, bagaimana menyelenggarakan acara-acara untuk menghibur remaja dan anak korban bencana. Contoh nilai karakter yang ditanamkan adalah berpikir logis, peduli sesama, gotong royong
Kamis, 05 Mei 2011
PEMBELAJARAN KREATIF DAN PRODUKTIF (STRATEGI PEMBELAJARAN KREATIVITAS PENULISAN SASTRA)
A. Rasionalitas
Pembelajaran kreatif dan produktif merupakan model yang dikembangkan dengan mengacu kepada berbagai pendekatan yang diasumsikan mampu meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. pendekatan tersebut antara lain Contextual teaching and learning (pendekatan kontekstual), cooperative learning (pendekatan kooperatif), dan neighbooed walk (pendekatan berbasis lingkungan). Karakteristik penting dari setiap pendekatan tersebut diintegrasikan sehingga menghasilkan satu model yang memungkinkan siswa mengembangkan kreativitas untuk menghasilkan produk (genre) yang bersumber dari pemahaman dan pengalaman mereka sendiri. Beberapa karakteristik tersebut adalah sebagai berikut.
1. Keterlibatan siswa secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran.
Keterlibatan ini difasilitasi melalui pemberian kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi dari konsep bidang ilmu yang sedang dikaji serta menafsirkan hasil ekplorasi tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk menjelajahi berbagai sumber yang relevan dengan topik/konsep/masalah yang sedang dikaji. Eksplorasi ini akan memungkinkan siswa melakukan interaksi dengan lingkungan dan pengalamannya sendiri, sebagai media untuk mengkonstruksi pengetahuan.
2. Siswa didorong untuk menemukan/mengkonstruksi sendiri konsep yang sedang dikaji melalui penafsiran yang dilakukan dengan berbagai cara, seperti observasi, diskusi, atau percobaan.
Dengan cara ini, konsep tidak ditransfer oleh guru kepada siswa, tetapi dibentuk sendiri oleh siswa berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang terjadi ketika melakukan eksplorasi serta interpretasi. Dengan perkataan lain, siswa didorong untuk membangun makna dari pengalamannya, sehingga pemahamannya terhadap fenomena yang sedang dikaji menjadi meningkat. Di samping itu, siswa didorong untuk memunculkan berbagai sudut pandang terhadap topik/konsep/masalah yang sama, dan untuk mempertahankan sudut pandangnya dengan menggunakan argumentasi yang relevan. Hal-hal ini merupakan salah satu realisasi hakikat konstruktivisme dalam pembelajaran.
3. Siswa diberi kesempatan untuk bertanggung jawab menyelesaikan tugas bersama
Kesempatan ini diberikan melalui kegiatan eksplorasi, interpretasi, dan re-kreasi. Di samping itu, mahasiswa juga mendapat kesempatan untuk membantu temannya dalam menyelesaikan satu tugas. Kebersamaan, baik dalam eksplorasi, interpretasi, serta re-kreasi dan pemajangan hasil merupakan arena interaksi yang memperkaya pengalaman
4. Pada dasarnya, untuk menjadi kreatif, seseorang harus bekerja keras, berdedikasi tinggi, antusias, percaya diri, serta peka terhadap gejala-gejala yang terjadi disekelilingnya.
Dalam konteks pembelajaran, kreativitas dapat ditumbuhkan dengan menciptakan suasana kelas yang memungkinkan siswa dan guru merasa bebas mengkaji dan mengeksplorasi topik-topik penting kurikulum. Guru mengajukan pertanyaan yang membuat siswa berpikir keras, kemudian mengejar pendapat siswa tentang idea-idea besar dari berbagai perspektif. Guru juga mendorong siswa untuk menunjukkan/mendemonstrasikan pemahamannya tentang topik-topik penting dalam kurikulum menurut caranya sendiri.
B. TAHAP-TAHAP PEMBELAJARAN PENULISAN SASTRA
Kegiatan pembelajaran menulis sastra dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pramenulis, tahap menulis, dan tahap pascamenulis. Setiap tahap dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para guru, dengan berpegang pada hakikat setiap tahap, sebagai berikut.
1. Pramenulis
Tahap pramenulis meliputi proses eksplorasi dan inkubasi. Eksplorasi adalah tahap penjajakan terhadap berbagai kemungkinan untuk menemukan ide/gagasan. Eskplorasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti menggali kembali pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain, membaca berbagai literatur (karya sastra), melakukan observasi terhadap lingkungan sekitar sekolah atau lingkungan tempat tinggal siswa, menonton satu pertunjukan, dan sebagainya. Waktu untuk eksplorasi disesuaikan dengan luasnya bidang yang harus dieksplorasi. Eksplorasi yang memerlukan waktu lama dilakukan di luar jam pelajaran, sedangkan eksplorasi yang singkat dapat dilakukan pada jam pelajaran. Agar eksplorasi menjadi terarah, panduan singkat sebaiknya disiapkan oleh guru. Kegiatan ini dapat dilakukan baik secara individual maupun kelompok.
Inkubasi adalah tahap pengendapan/mematangkan ide yang telah ditemukan. Pada tahap ini, siswa diberikan kesempatan mengkonstruksi pemahamannya untuk mematangkan ide atau gagasan. Kegiatan ini dapat dilakukan secara kooperatif. Pada akhir tahap ekplorasi dan inkubasi, diharapkan semua siswa sudah memiliki konsep gagasan yang akan ditulis
2. Tahap Menulis
Tahap menulis meliputi proses iluminasi. Dalam tahap iluminasi hasil eksplorasi dan inkubasi dinyatakan dalam bentuk tulisan. Kegiatan menulis sebaiknya dilakukan pada jam tatap muka, meskipun persiapannya sudah dilakukan oleh siswa di luar jam tatap muka. Hal ini dilakukan untuk membantu sisiwa jika mengalami kendalan pada saat mengekpresikan gagasannya, terutama dalam hal penggunaan bahasa yang berdasar pada konvensi kesastraan.
3. Tahap Pascamenulis
Tahap pascamenulis meliputi proses verfikasi. Pada tahap verifikasi, siswa ditugaskan untuk memperbaiki dan mempublikasikan karyanya menurut kreasinya masing-masing. Misalnya, memajang di majalah dinding, mempublikasikan di buletin siswa.
Pembelajaran kreatif dan produktif merupakan model yang dikembangkan dengan mengacu kepada berbagai pendekatan yang diasumsikan mampu meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. pendekatan tersebut antara lain Contextual teaching and learning (pendekatan kontekstual), cooperative learning (pendekatan kooperatif), dan neighbooed walk (pendekatan berbasis lingkungan). Karakteristik penting dari setiap pendekatan tersebut diintegrasikan sehingga menghasilkan satu model yang memungkinkan siswa mengembangkan kreativitas untuk menghasilkan produk (genre) yang bersumber dari pemahaman dan pengalaman mereka sendiri. Beberapa karakteristik tersebut adalah sebagai berikut.
1. Keterlibatan siswa secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran.
Keterlibatan ini difasilitasi melalui pemberian kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi dari konsep bidang ilmu yang sedang dikaji serta menafsirkan hasil ekplorasi tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk menjelajahi berbagai sumber yang relevan dengan topik/konsep/masalah yang sedang dikaji. Eksplorasi ini akan memungkinkan siswa melakukan interaksi dengan lingkungan dan pengalamannya sendiri, sebagai media untuk mengkonstruksi pengetahuan.
2. Siswa didorong untuk menemukan/mengkonstruksi sendiri konsep yang sedang dikaji melalui penafsiran yang dilakukan dengan berbagai cara, seperti observasi, diskusi, atau percobaan.
Dengan cara ini, konsep tidak ditransfer oleh guru kepada siswa, tetapi dibentuk sendiri oleh siswa berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang terjadi ketika melakukan eksplorasi serta interpretasi. Dengan perkataan lain, siswa didorong untuk membangun makna dari pengalamannya, sehingga pemahamannya terhadap fenomena yang sedang dikaji menjadi meningkat. Di samping itu, siswa didorong untuk memunculkan berbagai sudut pandang terhadap topik/konsep/masalah yang sama, dan untuk mempertahankan sudut pandangnya dengan menggunakan argumentasi yang relevan. Hal-hal ini merupakan salah satu realisasi hakikat konstruktivisme dalam pembelajaran.
3. Siswa diberi kesempatan untuk bertanggung jawab menyelesaikan tugas bersama
Kesempatan ini diberikan melalui kegiatan eksplorasi, interpretasi, dan re-kreasi. Di samping itu, mahasiswa juga mendapat kesempatan untuk membantu temannya dalam menyelesaikan satu tugas. Kebersamaan, baik dalam eksplorasi, interpretasi, serta re-kreasi dan pemajangan hasil merupakan arena interaksi yang memperkaya pengalaman
4. Pada dasarnya, untuk menjadi kreatif, seseorang harus bekerja keras, berdedikasi tinggi, antusias, percaya diri, serta peka terhadap gejala-gejala yang terjadi disekelilingnya.
Dalam konteks pembelajaran, kreativitas dapat ditumbuhkan dengan menciptakan suasana kelas yang memungkinkan siswa dan guru merasa bebas mengkaji dan mengeksplorasi topik-topik penting kurikulum. Guru mengajukan pertanyaan yang membuat siswa berpikir keras, kemudian mengejar pendapat siswa tentang idea-idea besar dari berbagai perspektif. Guru juga mendorong siswa untuk menunjukkan/mendemonstrasikan pemahamannya tentang topik-topik penting dalam kurikulum menurut caranya sendiri.
B. TAHAP-TAHAP PEMBELAJARAN PENULISAN SASTRA
Kegiatan pembelajaran menulis sastra dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pramenulis, tahap menulis, dan tahap pascamenulis. Setiap tahap dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para guru, dengan berpegang pada hakikat setiap tahap, sebagai berikut.
1. Pramenulis
Tahap pramenulis meliputi proses eksplorasi dan inkubasi. Eksplorasi adalah tahap penjajakan terhadap berbagai kemungkinan untuk menemukan ide/gagasan. Eskplorasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti menggali kembali pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain, membaca berbagai literatur (karya sastra), melakukan observasi terhadap lingkungan sekitar sekolah atau lingkungan tempat tinggal siswa, menonton satu pertunjukan, dan sebagainya. Waktu untuk eksplorasi disesuaikan dengan luasnya bidang yang harus dieksplorasi. Eksplorasi yang memerlukan waktu lama dilakukan di luar jam pelajaran, sedangkan eksplorasi yang singkat dapat dilakukan pada jam pelajaran. Agar eksplorasi menjadi terarah, panduan singkat sebaiknya disiapkan oleh guru. Kegiatan ini dapat dilakukan baik secara individual maupun kelompok.
Inkubasi adalah tahap pengendapan/mematangkan ide yang telah ditemukan. Pada tahap ini, siswa diberikan kesempatan mengkonstruksi pemahamannya untuk mematangkan ide atau gagasan. Kegiatan ini dapat dilakukan secara kooperatif. Pada akhir tahap ekplorasi dan inkubasi, diharapkan semua siswa sudah memiliki konsep gagasan yang akan ditulis
2. Tahap Menulis
Tahap menulis meliputi proses iluminasi. Dalam tahap iluminasi hasil eksplorasi dan inkubasi dinyatakan dalam bentuk tulisan. Kegiatan menulis sebaiknya dilakukan pada jam tatap muka, meskipun persiapannya sudah dilakukan oleh siswa di luar jam tatap muka. Hal ini dilakukan untuk membantu sisiwa jika mengalami kendalan pada saat mengekpresikan gagasannya, terutama dalam hal penggunaan bahasa yang berdasar pada konvensi kesastraan.
3. Tahap Pascamenulis
Tahap pascamenulis meliputi proses verfikasi. Pada tahap verifikasi, siswa ditugaskan untuk memperbaiki dan mempublikasikan karyanya menurut kreasinya masing-masing. Misalnya, memajang di majalah dinding, mempublikasikan di buletin siswa.
CITRA PROGRAM “KELAS BAHASA” DI SEKOLAH LANJUTAN
Tulisan ini merupakan hasil inkubasi penulis setelah mengalami proses iluminasi yang cukup lama. Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk memotret dan mengeksplorasi iklim program bahasa (kelas bahasa) di sekolah (SMA/MA), tetapi bukanlah waktu yang panjang untuk menilai sewajarnya atas kekurangan dan keistimewaannya. Tulisan ini tidak bermaksud mengeritik terhadap sekolah yang tidak memiliki program “kelas bahasa”, tetapi mencoba memberikan PR buat penentu kebijakan di setiap sekolah dengan mengajukan pertanyaan dasar “mengapa kelas bahasa terabaikan”. Tentu saja, PR ini tidak dialamatkan kepada semua sekolah, tetapi cukup disampel dan dialamatkan pada sekolah yang memiliki potensi untuk membina kompetensi kebahasaan dan kesastraan, terutama yang sekolah yang memiliki populasi yang banyak dan memilki kelas “program nonkebahasaan” yang membludak.
Tidak ada niat ekstrim yang terbesit di dalam benak penulis yang mengarah kepada “iri hati” terhadap program nonbahasa, karena penulis sendiri adalah alumni program nonbahasa (IPS) semasa SMA dan menyukai hal-hal yang realis dan natural, cenderung kepada pola berpikir tepat, logis serta terkendali sebagai karaktrisitik disiplin ilmu nonkebahasaan (eksakta)
Kondisi Real “Kelas Bahasa” di Satuan Pendidikan (SMA/MA)
Tidak ada data real (penelitian) tentang jumlah sekolah yang membina program bahasa (kelas bahasa) yang dapat dipersembahkan dalam tulisan ini. Namun, hasil sharing dengan beberapa rekan guru bahasa (Indonesia dan Inggris), pada umumnya memberikan jawaban yang sama, bahwa sekolah yang membuka program bahasa dapat dihitung jari. Kalaupun ada, hanya satu kelas dengan jumlah siswa yang minim. Meskipun pendapat ini masih bersifat hipotesis dan terkesan subjektifitas, namun penulis yakin bahwa hal tersebut menjadi kenyataan ketika kita meluangkan waktu untuk terjun langsung ke lapangan (sekolah). Realitas lain yang tampak adalah keberadaan program bahasa “timbul tenggelam” dari tahun ke tahun, bahkan lebih eksterim lagi program bahasa yang terlanjur dibuka hanya bertahan sampai siswanya tamat, selanjutnya ditutup dalam rentang waktu yang tak terhitung.
Kondisi ini tentu tidak terjadi tanpa sebab-musabab. Banyak faktor yang menyebabkan “kelas bahasa” tidak mampu bertahan dan memperlihatkan prestisenya. Alasan klasik yang paling sering didengar adalah “faktor minat”. Sebagian besar penentu kebijakan di sekolah mengklaim bahwa siswa kurang berminat masuk di program bahasa dengan berdasar pada angket pemilihan jurusan (kelas). Alasan ini benar, fakta menunjukkan bahwa ketika sekolah membuka program bahasa, peminatnya minim, bahkan nyaris tidak ada. Akan tetapi permasalahannya tidak sampai di situ saja. Kita perlu menggali kembali akar permasalahan “minat” tersebut . Jika “minat” yang menjadi alasan, lalu mengapa siswa yang tamat dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi justru banyak yang memilih Program Studi Bahasa (Inggris dan Indonesia), baik kependidikan maupun nonkependidikan. Hasil pengamatan penulis setiap tahun pada saat penerimaan calon mahasiswa baru di dua PTN dan satu PTS terkemuka di Makassar yang membuka program studi bahasa dan sastra memberikan gambaran batapa banyaknya alumni SMA/MA yang berminat terhadap bahasa dan sastra. Ironisnya, tidak sedikit dari mereka (calon mahasiswa) memilih program studi bahasa adalah alumni program nonkebahasaan di SMA/MA. Ini menunjukkan bahwa faktor minat bahasa dan sastra “ada” pada siswa. Pengalaman penulis ketika terlibat dalam beberapa lomba baca puisi dan teater, juga mengamati kegiatan bahasa Inggris (debat bahasa Inggris dan english camp), pada umumnya diikuti oleh siswa dari kelas program nonkebahasan. Berangkat dari pengalaman tersebut, penulis kembali menarik simpulan bahwa potensi bakat dan minat siswa terhadap bahasa dan sastra “ada”. Lalu di mana akar pemasalahnnya?
Menurut pengamatan subjektif penulis, kondisi keterpurukan program bahasa karena sistem dikotomi yang diterapkan sekolah. Sebagian besar stakeholder sekolah masih menganggap bahwa program IPA menempati peringkat pertama, program IPS peringkat kedua, dan program Bahasa pada peringkat ketiga. Belum lagi sistem diskriminasi yang memihak pada tingkat kognitif siswa (nilai rapor). Mereka yang memilki nilai yang tinggi ditempatkan di program IPA, jika kuota program IPA sudah mencukupi, di arahkan ke program IPS, selebihnya kemudian ditampung di program Bahasa. Sistem seperti inilah yang melahirkan sebuah plesetan terhadap program bahasa dengan nama “kelas pembuangan” sebagai sarana menampung siswa yang memiliki tingkat kognitif (IQ) yang rendah. Hal ini sangat berpengaruh pada psikologi siswa ketika disodorkan angket “minat” dalam menentukan pilihan program studi. Mereka malu dan gensi jika berada di “kelas pembuangan”. Padahal siswa tersebut mungkin punya potensi berbahasa Inggris atau potensi bersastra sebagai “bekal dasar” yang kelak akan diperdalam secara spesifik di perguruan tinggi.
Selain faktor “sistem” yang diuraikan di atas, kurangnya minat siswa memilih program bahasa, karena sekolah tidak menyiapkan sarana daya tarik pembelajaran kebahasaan dan kesastraan (semisal Labolatorium). Sekolah lebih memusatkan perhatian untuk melengkapi sarana Labolatorium IPA dibanding Labolarorium Bahasa. Jika ada anggaran dana atau permintaan sarana, maka prioritas utama adalah sarana IPA, sementara sarana kebahasaan menjadi urutan kedua. Kebijakan seperti ini kembali melahirkan plesetan program bahasa dengan nama “kelas anak tiri”. Jika kita mau menengok dari sekolah ke sekolah, pada umumnya sekolah telah memiiki dua labolatorium IPA sementara labolatorium bahasa tidak ada, kalaupun ada kondisinya kurang lebih seperti gudang penyimpanan barang bekas. Belum lagi sarana kesastraan, seperti panggung pementasan dan peralatannya (lighting, sound sistem, musik, dan proferti pementasan lainnya). Minimnya buku keasastraan (novel, antologi puisi, dan kumpulan naskah drama) juga menjadi kendala.
Cukup banyak hal yang menjadi penyebab sehingga program bahasa di SMA/MA kehilangan prestise di mata siswa. Namun fenomena yang diuraikan di atas dianggap cukup untuk dijadikan bahan evaluasi, terutama bagi mereka yang mau peduli dengan program bahasa (kelas bahasa)
Kondisi Ideal; Solusi Mencitrakan “Kelas Bahasa”
Berdasar pada kondisi real di atas, langkah awal yang harus dilakukan adalah komitmen untuk mencitrakan kelas bahasa. Sosialisasi tentang masing-masing program dan prospek ke depan setiap program disampaikan secara seimbang. Menghilangkan kesan di benak siswa bahwa mereka yang belajar di program IPA bukanlah siswa yang memiliki IQ yang lebih tinggi daripada mereka yang belajar di program IPS dan Bahasa. Demikian juga sebaliknya, mereka yang belajar di program IPS dan Bahasa, bukan siswa yang tidak dapat bersaing untuk masuk diprogram IPA. Akan tetapi, siswa yang belajar di setiap program adalah siswa yang memiliki potensi dan keahlian sesuai dengan program yang ditempati. Tentu saja sosialisasi tersebut tidak sekedar retorika belaka, tetapi disertai dengan tindakan nyata, misalnya melengkapi fasilitas yang mereka butuhkan untuk mengembangkan dan potensi dan keahliannya, memberikan pelayanan dan kesempatan untuk mengaktualisasikan dan mengekpresikan bakat dan minatnya, menyiapkan tenaga ahli yang dapat membina potensi kebahasaan siswa. Dengan demikian, siswa betul-betul merasakan bahwa dirinya sejajar dengan siswa yang belajar diprogram lain.
Sistem pembagian kuota setiap program (kelas) harus proporsional, sehingga penyebaran siswa seimbang dan merata berdasarkan potensi. Pembagian kuota harus bercermin pada intake siswa. Siswa yang cas-cis-cus berbahasa Inggris, siswa yang memiliki jiwa estetik dan kesastraan diarahkan ke program bahasa. Namun perlu diingat, bahwa dengan pembagian kuota saja belum cukup, tetapi perlu perhatian dan pembinaan yang profesional sehingga siswa merasakan keistimewaan belajar di program bahasa.
Selain membenahi sistem, pencintraan “program bahasa” juga tidak lepas dari faktor kompetensi tenaga pengajar. Berceloteh di depan siswa tentang teori dan ilmu kebahasaan/sastra, kegiatan PBM yang monoton, siswa selalu dikungkung dalam ruang kelas, semua itu adalah adalah ciri pola pikir divergen yang menjadi sumber kelesuan dan kemandekan siswa untuk memilih program bahasa. Sudah saatnya, pola pikir divergen di ubah menjadi konvergen. Citra “Program Bahasa” memerlukan kreativitas, komitmen, dedikasi tinggi, antusias, percaya diri, serta peka dan tanggap terhadap dinamika pembelajaran. Kebijakan Pemerintah dengan memberlakukan KTSP memberikan kelonggaran bagi guru untuk merancang dan melaksanakan PBM sehingga tampak keterlibatan siswa secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran, mendorong siswa untuk menemukan/mengkonstruksi sendiri konsep yang sedang dikaji melalui penafsiran yang dilakukan dengan berbagai cara, seperti eksplorasi, observasi, diskusi, atau pementasan.
Bahasa dan Sastra sebagai Sarana Pengembangan Daya Nalar Siswa
Mengakhiri problematika “program bahasa” pada tulisan ini, penulis sengaja memunculkan subjudul Bahasa sebagai Sarana Pengembangan Daya Nalar Siswa. Seperti yang telah diuraikan di awal tulisan ini, penulis tidak bermaksud mengundang polemik dengan mempertentangkan ilmu eksakta dan noneksakta. Akan tetapi mencoba memberikan sumbangan pemikiran untuk mencitrakan “program bahasa” di sekolah. Sebagai bahan renungan bagi kita semua, berikut ini konsep pemikiran tentang “bahasa dan penalaran” dari beberapa filosof ilmu penalaran.
• Cassirer, (1944)
Keunikan manusia sebenarnya bukan terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Manusia sebagai animal symbolicum (makhluk yang mempergunakan simbol) yang secara generik mempunyai cakupan yang lebih luas daripada homo sapiens (makhluk yang berpikir), sebab dalam kegiatan berpikirnya manusia mempergunakan simbol. Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur mustahil dapat dilakukan.
• Menurut Huxley, (1962)
Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak seperti yang dilakukan dalam kegiatan ilmiah. Binatang tidak diberkahi dengan bahasa yang sempurna sebagaimana yang dimiliki manusia, sehingga binatang dapat berpikir dengan baik dan mengakumulasikan pengetahuannya lewat proses komunikasi, seperti manusia mengembangkan ilmunya.
• Moody, H.L.B. (1971)
Proses berfikir logis (yang adalah bagian dari penalaran) banyak ditentukan oleh hal-hal seperti ketepatan pengertian, ketepatan interpretasi kebahasaan, klasifikasi dan pengelompokan data. Dijelaskannya, bahwa pembelajaran sastra akan sangat membantu para siswa melakukan latihan dalam memecahkan masalah-masalah berfikir logis itu, karena pembelajaran sastra juga meliputi kecakapan-kecakapan pilihan seperti dugaan, kebiasaan, tradisi, dorongan, dan sebagainya.
Cukup banyak konsep yang bertebaran di hadapan kita tentang pentingnya bahasa terhadap penalaran. Namun menurut hemat penulis, ketiga buah pemikiran tokoh penalaran di atas sudah cukup menjelajahi pemikiran bagi pihak yang ingin mengembangkan daya nalar siswa. Sebagai penutup dari tulisan ini, berikut ini dikutip hasil penelitian Dawud (Universitas Negeri Malang) yang meneliti penalaran dalam tuturan bahasa Indonesia siswa Sekolah Dasar.
Dawud (1998) menemukan bahwa siswa dapat menjadi pemikir yang baik, jika me¬miliki kesempatan untuk berlatih menerapkan pengetahuan bernalar yang te¬¬lah di¬pelajarinya. Pengembangan kemampuan bernalar dapat dilakukan dengan mengem¬bang¬kan kemampuan pemecahan masalah melalui pengajaran keterampil¬an berbaha¬sa. Perkembangan berpikir siswa akan mengalami percepatan pada ta¬hap operasi-formal, hal tersebut terjadi diduga karena interaksi sosialnya, yakni mela¬lui pengajaran, peng¬¬¬galian informasi, dan penggunaan bahasa sehari-hari.
Berdasarkan hasil penelitian Dawud, penulis berpendapat bahwa pembelajaran bahasa di pendidikan dasar saja telah terbukti mampu mengembangkan daya nalar siswa, terlebih lagi jika siswa dibekali kemampuan berbahasa di tingkat pendidikan menengah. Remaja tingkat SMA/MA/SMK yang berusia sekitar 16-19 tahun, berada dalam tingkat perkembangan yang disebut tahap operasi formal, suatu tahap perkembangan kognitif (daya nalar) di mana struktur kognitif anak mencapai tingkat perkembangan paling besar dan anak menjadi cakap untuk mengaplikasikan logikanya pada semua persoalan. Perkembangan kognitif ini akan mencapai tingkat yang sempurna, bila ditunjang oleh semua perkembangan kognitif lain, seperti kematangan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), interaksi sosial, dan kemajuan secara menyeluruh dan berimbang. Perkembangan kognitif ini akan menjadi landasan perkembangan kognitif yang lebih meningkat, yang oleh Cowan disebut kreativitas, psikedelia (psychedelia), dan iluminasi (illumination).
Ditinjau dari segi Ilmu Jiwa Perkembangan, maka anak usia SMA/MA/SMK sedang mengalami masa pubertas atau adolesen, di mana diperlukan aktivitas yang positif yang dapat menyalurkan derai badai dan topan jiwa dan perkembangan kognitif anak. Di sinilah letak relevansi dan signifikansi pembahasan tentang pengembangan daya nalar dalam pembelajaran sastra. Sistem pembelajaran sastra menyediakan kesempatan-kesempatan bagi siswa untuk menjelajahi masalah, berekspresi dan mengungkapkan pendapat dengan bebas agar daya nalar dapat berkembang secara normal.
Tidak ada niat ekstrim yang terbesit di dalam benak penulis yang mengarah kepada “iri hati” terhadap program nonbahasa, karena penulis sendiri adalah alumni program nonbahasa (IPS) semasa SMA dan menyukai hal-hal yang realis dan natural, cenderung kepada pola berpikir tepat, logis serta terkendali sebagai karaktrisitik disiplin ilmu nonkebahasaan (eksakta)
Kondisi Real “Kelas Bahasa” di Satuan Pendidikan (SMA/MA)
Tidak ada data real (penelitian) tentang jumlah sekolah yang membina program bahasa (kelas bahasa) yang dapat dipersembahkan dalam tulisan ini. Namun, hasil sharing dengan beberapa rekan guru bahasa (Indonesia dan Inggris), pada umumnya memberikan jawaban yang sama, bahwa sekolah yang membuka program bahasa dapat dihitung jari. Kalaupun ada, hanya satu kelas dengan jumlah siswa yang minim. Meskipun pendapat ini masih bersifat hipotesis dan terkesan subjektifitas, namun penulis yakin bahwa hal tersebut menjadi kenyataan ketika kita meluangkan waktu untuk terjun langsung ke lapangan (sekolah). Realitas lain yang tampak adalah keberadaan program bahasa “timbul tenggelam” dari tahun ke tahun, bahkan lebih eksterim lagi program bahasa yang terlanjur dibuka hanya bertahan sampai siswanya tamat, selanjutnya ditutup dalam rentang waktu yang tak terhitung.
Kondisi ini tentu tidak terjadi tanpa sebab-musabab. Banyak faktor yang menyebabkan “kelas bahasa” tidak mampu bertahan dan memperlihatkan prestisenya. Alasan klasik yang paling sering didengar adalah “faktor minat”. Sebagian besar penentu kebijakan di sekolah mengklaim bahwa siswa kurang berminat masuk di program bahasa dengan berdasar pada angket pemilihan jurusan (kelas). Alasan ini benar, fakta menunjukkan bahwa ketika sekolah membuka program bahasa, peminatnya minim, bahkan nyaris tidak ada. Akan tetapi permasalahannya tidak sampai di situ saja. Kita perlu menggali kembali akar permasalahan “minat” tersebut . Jika “minat” yang menjadi alasan, lalu mengapa siswa yang tamat dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi justru banyak yang memilih Program Studi Bahasa (Inggris dan Indonesia), baik kependidikan maupun nonkependidikan. Hasil pengamatan penulis setiap tahun pada saat penerimaan calon mahasiswa baru di dua PTN dan satu PTS terkemuka di Makassar yang membuka program studi bahasa dan sastra memberikan gambaran batapa banyaknya alumni SMA/MA yang berminat terhadap bahasa dan sastra. Ironisnya, tidak sedikit dari mereka (calon mahasiswa) memilih program studi bahasa adalah alumni program nonkebahasaan di SMA/MA. Ini menunjukkan bahwa faktor minat bahasa dan sastra “ada” pada siswa. Pengalaman penulis ketika terlibat dalam beberapa lomba baca puisi dan teater, juga mengamati kegiatan bahasa Inggris (debat bahasa Inggris dan english camp), pada umumnya diikuti oleh siswa dari kelas program nonkebahasan. Berangkat dari pengalaman tersebut, penulis kembali menarik simpulan bahwa potensi bakat dan minat siswa terhadap bahasa dan sastra “ada”. Lalu di mana akar pemasalahnnya?
Menurut pengamatan subjektif penulis, kondisi keterpurukan program bahasa karena sistem dikotomi yang diterapkan sekolah. Sebagian besar stakeholder sekolah masih menganggap bahwa program IPA menempati peringkat pertama, program IPS peringkat kedua, dan program Bahasa pada peringkat ketiga. Belum lagi sistem diskriminasi yang memihak pada tingkat kognitif siswa (nilai rapor). Mereka yang memilki nilai yang tinggi ditempatkan di program IPA, jika kuota program IPA sudah mencukupi, di arahkan ke program IPS, selebihnya kemudian ditampung di program Bahasa. Sistem seperti inilah yang melahirkan sebuah plesetan terhadap program bahasa dengan nama “kelas pembuangan” sebagai sarana menampung siswa yang memiliki tingkat kognitif (IQ) yang rendah. Hal ini sangat berpengaruh pada psikologi siswa ketika disodorkan angket “minat” dalam menentukan pilihan program studi. Mereka malu dan gensi jika berada di “kelas pembuangan”. Padahal siswa tersebut mungkin punya potensi berbahasa Inggris atau potensi bersastra sebagai “bekal dasar” yang kelak akan diperdalam secara spesifik di perguruan tinggi.
Selain faktor “sistem” yang diuraikan di atas, kurangnya minat siswa memilih program bahasa, karena sekolah tidak menyiapkan sarana daya tarik pembelajaran kebahasaan dan kesastraan (semisal Labolatorium). Sekolah lebih memusatkan perhatian untuk melengkapi sarana Labolatorium IPA dibanding Labolarorium Bahasa. Jika ada anggaran dana atau permintaan sarana, maka prioritas utama adalah sarana IPA, sementara sarana kebahasaan menjadi urutan kedua. Kebijakan seperti ini kembali melahirkan plesetan program bahasa dengan nama “kelas anak tiri”. Jika kita mau menengok dari sekolah ke sekolah, pada umumnya sekolah telah memiiki dua labolatorium IPA sementara labolatorium bahasa tidak ada, kalaupun ada kondisinya kurang lebih seperti gudang penyimpanan barang bekas. Belum lagi sarana kesastraan, seperti panggung pementasan dan peralatannya (lighting, sound sistem, musik, dan proferti pementasan lainnya). Minimnya buku keasastraan (novel, antologi puisi, dan kumpulan naskah drama) juga menjadi kendala.
Cukup banyak hal yang menjadi penyebab sehingga program bahasa di SMA/MA kehilangan prestise di mata siswa. Namun fenomena yang diuraikan di atas dianggap cukup untuk dijadikan bahan evaluasi, terutama bagi mereka yang mau peduli dengan program bahasa (kelas bahasa)
Kondisi Ideal; Solusi Mencitrakan “Kelas Bahasa”
Berdasar pada kondisi real di atas, langkah awal yang harus dilakukan adalah komitmen untuk mencitrakan kelas bahasa. Sosialisasi tentang masing-masing program dan prospek ke depan setiap program disampaikan secara seimbang. Menghilangkan kesan di benak siswa bahwa mereka yang belajar di program IPA bukanlah siswa yang memiliki IQ yang lebih tinggi daripada mereka yang belajar di program IPS dan Bahasa. Demikian juga sebaliknya, mereka yang belajar di program IPS dan Bahasa, bukan siswa yang tidak dapat bersaing untuk masuk diprogram IPA. Akan tetapi, siswa yang belajar di setiap program adalah siswa yang memiliki potensi dan keahlian sesuai dengan program yang ditempati. Tentu saja sosialisasi tersebut tidak sekedar retorika belaka, tetapi disertai dengan tindakan nyata, misalnya melengkapi fasilitas yang mereka butuhkan untuk mengembangkan dan potensi dan keahliannya, memberikan pelayanan dan kesempatan untuk mengaktualisasikan dan mengekpresikan bakat dan minatnya, menyiapkan tenaga ahli yang dapat membina potensi kebahasaan siswa. Dengan demikian, siswa betul-betul merasakan bahwa dirinya sejajar dengan siswa yang belajar diprogram lain.
Sistem pembagian kuota setiap program (kelas) harus proporsional, sehingga penyebaran siswa seimbang dan merata berdasarkan potensi. Pembagian kuota harus bercermin pada intake siswa. Siswa yang cas-cis-cus berbahasa Inggris, siswa yang memiliki jiwa estetik dan kesastraan diarahkan ke program bahasa. Namun perlu diingat, bahwa dengan pembagian kuota saja belum cukup, tetapi perlu perhatian dan pembinaan yang profesional sehingga siswa merasakan keistimewaan belajar di program bahasa.
Selain membenahi sistem, pencintraan “program bahasa” juga tidak lepas dari faktor kompetensi tenaga pengajar. Berceloteh di depan siswa tentang teori dan ilmu kebahasaan/sastra, kegiatan PBM yang monoton, siswa selalu dikungkung dalam ruang kelas, semua itu adalah adalah ciri pola pikir divergen yang menjadi sumber kelesuan dan kemandekan siswa untuk memilih program bahasa. Sudah saatnya, pola pikir divergen di ubah menjadi konvergen. Citra “Program Bahasa” memerlukan kreativitas, komitmen, dedikasi tinggi, antusias, percaya diri, serta peka dan tanggap terhadap dinamika pembelajaran. Kebijakan Pemerintah dengan memberlakukan KTSP memberikan kelonggaran bagi guru untuk merancang dan melaksanakan PBM sehingga tampak keterlibatan siswa secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran, mendorong siswa untuk menemukan/mengkonstruksi sendiri konsep yang sedang dikaji melalui penafsiran yang dilakukan dengan berbagai cara, seperti eksplorasi, observasi, diskusi, atau pementasan.
Bahasa dan Sastra sebagai Sarana Pengembangan Daya Nalar Siswa
Mengakhiri problematika “program bahasa” pada tulisan ini, penulis sengaja memunculkan subjudul Bahasa sebagai Sarana Pengembangan Daya Nalar Siswa. Seperti yang telah diuraikan di awal tulisan ini, penulis tidak bermaksud mengundang polemik dengan mempertentangkan ilmu eksakta dan noneksakta. Akan tetapi mencoba memberikan sumbangan pemikiran untuk mencitrakan “program bahasa” di sekolah. Sebagai bahan renungan bagi kita semua, berikut ini konsep pemikiran tentang “bahasa dan penalaran” dari beberapa filosof ilmu penalaran.
• Cassirer, (1944)
Keunikan manusia sebenarnya bukan terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Manusia sebagai animal symbolicum (makhluk yang mempergunakan simbol) yang secara generik mempunyai cakupan yang lebih luas daripada homo sapiens (makhluk yang berpikir), sebab dalam kegiatan berpikirnya manusia mempergunakan simbol. Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur mustahil dapat dilakukan.
• Menurut Huxley, (1962)
Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak seperti yang dilakukan dalam kegiatan ilmiah. Binatang tidak diberkahi dengan bahasa yang sempurna sebagaimana yang dimiliki manusia, sehingga binatang dapat berpikir dengan baik dan mengakumulasikan pengetahuannya lewat proses komunikasi, seperti manusia mengembangkan ilmunya.
• Moody, H.L.B. (1971)
Proses berfikir logis (yang adalah bagian dari penalaran) banyak ditentukan oleh hal-hal seperti ketepatan pengertian, ketepatan interpretasi kebahasaan, klasifikasi dan pengelompokan data. Dijelaskannya, bahwa pembelajaran sastra akan sangat membantu para siswa melakukan latihan dalam memecahkan masalah-masalah berfikir logis itu, karena pembelajaran sastra juga meliputi kecakapan-kecakapan pilihan seperti dugaan, kebiasaan, tradisi, dorongan, dan sebagainya.
Cukup banyak konsep yang bertebaran di hadapan kita tentang pentingnya bahasa terhadap penalaran. Namun menurut hemat penulis, ketiga buah pemikiran tokoh penalaran di atas sudah cukup menjelajahi pemikiran bagi pihak yang ingin mengembangkan daya nalar siswa. Sebagai penutup dari tulisan ini, berikut ini dikutip hasil penelitian Dawud (Universitas Negeri Malang) yang meneliti penalaran dalam tuturan bahasa Indonesia siswa Sekolah Dasar.
Dawud (1998) menemukan bahwa siswa dapat menjadi pemikir yang baik, jika me¬miliki kesempatan untuk berlatih menerapkan pengetahuan bernalar yang te¬¬lah di¬pelajarinya. Pengembangan kemampuan bernalar dapat dilakukan dengan mengem¬bang¬kan kemampuan pemecahan masalah melalui pengajaran keterampil¬an berbaha¬sa. Perkembangan berpikir siswa akan mengalami percepatan pada ta¬hap operasi-formal, hal tersebut terjadi diduga karena interaksi sosialnya, yakni mela¬lui pengajaran, peng¬¬¬galian informasi, dan penggunaan bahasa sehari-hari.
Berdasarkan hasil penelitian Dawud, penulis berpendapat bahwa pembelajaran bahasa di pendidikan dasar saja telah terbukti mampu mengembangkan daya nalar siswa, terlebih lagi jika siswa dibekali kemampuan berbahasa di tingkat pendidikan menengah. Remaja tingkat SMA/MA/SMK yang berusia sekitar 16-19 tahun, berada dalam tingkat perkembangan yang disebut tahap operasi formal, suatu tahap perkembangan kognitif (daya nalar) di mana struktur kognitif anak mencapai tingkat perkembangan paling besar dan anak menjadi cakap untuk mengaplikasikan logikanya pada semua persoalan. Perkembangan kognitif ini akan mencapai tingkat yang sempurna, bila ditunjang oleh semua perkembangan kognitif lain, seperti kematangan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), interaksi sosial, dan kemajuan secara menyeluruh dan berimbang. Perkembangan kognitif ini akan menjadi landasan perkembangan kognitif yang lebih meningkat, yang oleh Cowan disebut kreativitas, psikedelia (psychedelia), dan iluminasi (illumination).
Ditinjau dari segi Ilmu Jiwa Perkembangan, maka anak usia SMA/MA/SMK sedang mengalami masa pubertas atau adolesen, di mana diperlukan aktivitas yang positif yang dapat menyalurkan derai badai dan topan jiwa dan perkembangan kognitif anak. Di sinilah letak relevansi dan signifikansi pembahasan tentang pengembangan daya nalar dalam pembelajaran sastra. Sistem pembelajaran sastra menyediakan kesempatan-kesempatan bagi siswa untuk menjelajahi masalah, berekspresi dan mengungkapkan pendapat dengan bebas agar daya nalar dapat berkembang secara normal.
Langganan:
Postingan (Atom)