Ketika saya masih duduk di bangku SMP, sebagian besar waktu saya terhabiskan di area terminal (sekarang Bank Sulawesi Selatan). Maklum, waktu itu orangtua saya berprofesi sebagai penjual es dan makanan. Pulang dari sekolah, saya ganti pakaian dan langsung ke terminal membantu orangtua mengurus jualannya hingga ba’da Isya. Sudah pasti, hari ahad dan hari liburan lainnya waktu saya di terminal tersebut mulai pagi sampai malam. Rutinitas tersebut saya jalani sampai saya berhasil menyelesaikan pendidikan di SMP. Memasuki jenjang SMA, jualan orangtua saya macet karena digusur paksa oleh pemerintah dengan alasan renovasi terminal. Orangtua saya terpaksa mencari lokasi jualan di luar area terminal, sementara saya tetap menghabiskan waktu di terminal tersebut dengan beralih profesi menjadi pedagang asongan (rokok) guna memenuhi kebutuhan sekolah di SMA karena penghasilan orangtua saya drastis menurun saat keluar dari area terminal.
Selama ± 6 tahun bergelut dengan kehidupan terminal Sengkang, satu profesi yang sangat melekat dalam skemata saya, yakni penjual obat. Begitu melekatnya profesi ini dalam benak saya, hampir semua penjual obat saya kenal walaupun hanya dengan mendengar style suaranya ketika beretorika di tengah-tengah kerumunan calon pembelinya. Bahkan jenis obat yang ditawarkan pun bisa saya tebak tanpa harus mendekat atau berada di tengah kerumunan orang. Demikian juga segala jenis dan bentuk permainannya (entah yang sifatnya akrobat ataupun sulap, serta berbagai jenis keahlian supranatural yang dimiliki oleh penjual obat tersebut). Bagi saya, satu hal yang menarik untuk saya utarakan pada pembaca, bahwa berdasarkan pengalaman saya waktu itu, dari sekian banyak penjual obat yang silih berganti, rata-rata mengklaim dirinya “raja obat” dengan menjajakan obat “panacea” yang berkasiat mengobati berbagai jenis penyakit. Mulai dari penyakit urat kaku, pegel linu, darah tinggi, sakit bengek, eksim, keputihan, sukar tidur, hilang nafsu makan, kurang jantan, dan berbagai jenis penyakit lainnya. Dengan bahasa persuasif “makan tablet ini tiga kali sehari, semua penyakit Anda sembuh”.
Hingga akhirnya, saya meninggalkan terminal dengan segala aktivitas manusia di area tersebut, karena saya berhasil lulus UMPTN dan diterima di IKIP Ujungpandang (sekarang UNM) sampai akhirnya status sosial saya telah berubah, tentu saja pengetahuan saya juga telah berubah. Dulu saya hanya begelut dengan “ilmu bisnis” kecil-kecilan, sekarang lebih pada “ilmu profesi keguruan” dan mengantar saya menjadi sarjana pendidikan. Merasa “ilmu pengetahuan” yang saya mililki perlu di update, saya berusaha belajar otodidak dengan membaca berbagai literatur. Hingga pada suatu ketika saya membaca buku yang tulis oleh Jujun S. Suriasumantri yang berjudul Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Di bagian 11 (halaman 101) saya tertarik membaca tulisan beliau “Jarum Sejarah Pengetahuan”.
Ternyata, “raja obat” (seperti yang saya ungkapkan pada awal tulisan ini) yang mampu mengobati segala macam penyakit adalah warisan dari pengetahuan zaman dahulu, di mana pada waktu itu perbedaan antara ujud yang satu dengan ujud yang lain belum dilakukan. Pada masyarakat primitif, perbedaan antara berbagai organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku, umpamanya, bisa menangkap hakim, penguhulu yang menikahkahkan penglima perang, guru besar atau tukan tenung. Sekali kita menempati status tertentu dalam jenjang kemasyarakatan maka status itu tetap, ke mana pun kita pergi, sebab organisasi kemasyarakatan pada waktu itu (tempo doloe) hakikatnya hanya satu. Jadi, sekali menjadi seorang ahli maka seterusnya dia akan menjadi seorang ahli. Simpulannya, “raja obat” yang ceritakan di atas, merupakan produk dari pengetahuan tempo doloe. Kriteria “kesamaan” dan bukan “perbedaan” yang menjadi konsep dasar tempo doloe. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara objek yang satu dan objek yang lainnya. Pantas saja pada era tempo doloe, di berbagai kampung seorang yang ahli dalam baca-baca (Bugis) akan dianggap memiliki keahlian dalam berbagai acara ritual, baik dalam bidang pertanian, peternakan, perdagangan, perkawinan, kebatinan, perdagangan, dan entah apa saja. Meskipun pada kenyataannya ia bukan petani, peternak, pedagang. Sehari-harinya adalah katte atau suro (pengelolah masjid).
Lebih lanjut diuraikan Suriasumantri, konsep dasar tersebut baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya abad penalaran (the age of reason) pada pertengahan abad 17. Dengan berkembangnya abad penalaran, maka konsep dasar “kesamaan” berubah menjadi “pembedaan”. Dengan demikian, timbullah spesialisasi ilmu pengetahuan dengan konsekuensinya mempersempit ruang lingkup pekerjaan. Masing-masing cabang pengetahuan (disiplin ilmu) berkembang menurut jalannya sendiri sehingga tampak perbedaan antara disiplin ilmu yang satu dengan disiplin ilmu yang lain (tentu saja ruang lingkup pekerjaan berbeda pula).
Menurut hemat saya, perubahan tersebut kemudian melahirkan sebuah statmen dalam manajemen kepemimpinan, yakni the right man, on the right job (menempatkan seseorang berdasarkan bidang keahliannya atau disiplin ilmunya). Namun, di penghujung abad XX ini ternyata masih banyak orang yang ingin memutar kembali jarum sejarah pengetahuan dengan mengaburkan batas-batas otonomi masing-masing disiplin keilmuan dengan dalih pendekatan inter-disipliner. Misalnya, mata pelajaran bahasa Indonesia di ajarkan oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Biologi. Demikian juga misalnya, seorang mahasiswa (di salah satu PTS) yang tengah menyelesaikan tugas akhirnya (skripsi) dibimbing oleh dosen yang tidak linier dengan disiplin ilmu mahasiswa yang bersangkutan. Bahkan, lebih memprihatinkan lagi lagi, pada saat ujian akhir, mahasiswa jurusan X diuji oleh dosen yang disiplin ilmunya (dari jurusan) Y.
Pendekatan inter-disiplier memang kadang-kadang dibutuhkan dalam menjawab tantangan nyata kehidupan yang semakin kompleks. Namun, tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing disiplin keilmuan. Apalagi disiplin ilmu yang jelas sekali perbedaan route-nya. Tentang hal ini, kembali saya ingin berbagi cerita kepada pembaca.
“Saya adalah Dr. Polan, ahli burung betet betina”, demikian seorang memperkenalkan diri dalam abad spesialisasi ini. Jadi ia bukan ahli zoologi, atau ahli burung. Dia ahli betet khas betet betina.
“Ceritakan, pak, bagaimana membedakan burung betet betina dengan betet jantan !” tanya seseorang.
“Burung betet jantan makan cacing betina sedangkan burung betet betina makan cacing jantan” jawab Dr. Polan.
“Bagaimana membedakan cacing jantan dengan cacing betina ?” kembali orang tersebut bertanya kepada Dr. Polan
“Wah, itu di luar profesi saya dan keahlian saya. Saudara harus bertanya kepada seorang ahli cacing.
Anekdot di atas, tampaknya humoris. Namun sangat memberikan pelajaran bagi kita untuk menempatkan diri kita sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, sehingga kinerja kita benar-benar bermakna, ada hasil (output) dan ada manfaatnya (outcome). Tidak sekedar menduduki jabatan untuk kepentingan prestise atau karena kepentingan politik praktis, lebih-lebih karena many polityc. Kalau kita ahli teknik bangunan, tidak sekedar menghasilkan bangunan (misalnya, jembatan), tetapi lebih dari itu bangunan tersebut benar-benar bermanfaat untuk kehidupan. Kalau jembatan itu berhasil kita bangun tetapi tidak bermanfaat karena lokasi yang tidak strategis untuk aktivitas perjalanan masyarakat, saya pikir itu adalah ide yang membuang-buang anggaran saja. Di sinilah pentingnya disiplin ilmu yang spesifik, paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui, dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan.
Mengakhiri tulisan ini, saya kembali menegaskan penyataan Suriasumantri bahwa, pendekatan inter-disipliner di era globalisasi ini, bukan merupakan fusi antara berbagai disiplin ilmu yang akan menimbulkan anarki keilmuan, melainkan suatu faderasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, di mana tiap disiplin ilmu dengan otonomnya masing-masing saling menyumbangkan analisisnya dengan mengkaji objek yang menjadi telaah bersama. (Sengkang, 13 Agustus 2010)
Sabtu, 09 Oktober 2010
PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PALANG MERAH REMAJA DI SEKOLAH
Dewasa ini praktik pendidikan di Indonesia cenderung lebih berorentasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis) yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient (IQ), namun kurang mengembangkan kemampuan soft skill yang tertuang dalam emotional intelligence (EQ), dan spiritual intelligence (SQ). Pembelajaran di berbagai sekolah lebih menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian. Sebagian besar guru masih memiliki persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensi yang baik adalah memiliki nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi.
Seiring perkembangan jaman, pendidikan yang hanya berbasiskan hard skill yaitu menghasilkan lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam akademis, harus mulai dibenahi. Sekarang pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan soft skill (interaksi sosial) sebab ini sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Pendidikan soft skill bertumpu pada pembinaan mentalitas agar peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill) saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam (1) olah hati (spiritual and emotional development), (2) olah pikir (intellectual development), (3) olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development)
Beberapa penemuan penting mengenai hal pendidikan karakter, antara lain hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
HAKIKAT PENDIDIKAN KARAKTER
Secara akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerrti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour
Karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari
Pembentukan karakter merupakan bagian penting kinerja pendidikan. Karakter merupakan bentuk kepribadian yang melekat pada diri seseorang. sebagaimana hadist Rosulullah saw, yang meyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, karena kedua orangtuanyalah (baca: lingkungan) menjadikan anak itu yahudi, nasrani atau majusi (HR. Bukhari). Ini menunjukkan bahwa fitrah atau potensi tidak bisa dibiarkan begitu saja tapi perlu ditumbuhkan, sebagaimana benih yang baik, kalau ditanam ditanah yang subur dan dirawat (disiram dan dipupuk) dengan baik, maka benih itu akan tumbuh menjadi tanaman yang subur dan berbuah banyak. Demikian juga dengan karakter yang merupakan bagian dari potensi anak , harus dibina dan dididik dengan baik, biar menjadi anak yang shaleh dan bermanfaat.
PEMBINAAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI MANAJEMEN PMR
Kegiatan ekstrakurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstrakurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Palang Merah Remaja (PMR) adalah wadah pembinaan dan pengembangan anggota remaja PMI dengan tujuan membangun dan mengembangkan karakter anggota PMR yang berpedoman pada Tri Bakti PMR dan Prinsip Kepalangmerahan untuk menjadi relawan masa depan. Kebijakan PMI dan Federasi tentang remaja bahwa (1) remaja merupakan prioritas pembinaan, baik dalam keanggotaan maupun kegiatan kepalangmerahan, (2) remaja berperan penting dalam pengembangan kegiatan kepalangmerahan, (3) remaja berperan penting dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan, dan proses pengambilan keputusan untuk kegiatan PMI, (4) remaja calon pemimpin Palang Merah masa depan, dan (5) remaja adalah kader relawan. Oleh karena itu, pola pembinaan “konvesional” yang berorientasi pada “rekrut-latih-lomba” sudah harus ditinggalkan dan diganti dengan pembinaan yang berorientasi pada “rekrut-latih-tri bakti” untuk menyiapkan anggota PMR menjadi calon relawan masa depan.
Berdasarkan Pedoman Manajemen PMR, siklus pembinaan PMR melalui empat tahap, yakni (1) perekrutan, (2) pelatihan, (3) Tribakti, dan (4) pengakuan dan penghargaan. Keempat tahap tersebut senatiasa dipantau dan evaluasi.
1. Tahap Perekrutan
Perekrutan adalah peningkatan jumlah anggota dan kelompok PMR. Melalui proses promosi, pendaftaran, dan wawancara, maka perekrutan memberitahukan remaja bahwa dengan bergabung dengan PMI, mereka dapat melakukan sesuatu yang memang mereka ingin lakukan. Nilai karakter yang digali dalam tahap ini adalah bepikir logis, kreatif menggali ide, kerja keras
2. Tahap Pelatihan
Mengingat pembinaan PMR terfokus pada pembangunan karakter, maka standarisasi pelatihan PMR berpedoman pada kurikulum PMR, dengan menerapkan 7 (tujuh) materi pelatihan PMR, yaitu (1) Gerakan Kepalangmerahan, (2) Kepemimpinan, (3) Pertolongan Pertama, (4) Sanitasi dan Kesehatan, (5) Kesehatan Remaja, (6) Kesiapsiagaan Bencana, dan (7) Donor Darah. Melalui materi tersebut, nilai karakter yang digali adalah bekerja sama, peduli sesama, menjadi pendidik sebaya, memberikan dukungan, menjadi contoh perilaku hidup sehat
3. Tri Bakti PMR
Ketujuh materi perlatihan PMR tersebut diharapkan dapat menguatkan karakter anggota PMR untuk melaksanakan Tri Bakti PMR. Melibatkan anggota PMR dalam berbagai kegiatan kepalangmerahan merupakan karya dan bakti nyata setelah mengikuti pelatihan, pengakuan, terhadap keberadaan dan kompetensi dalam meningkatkan kualitas anggota dan organisasi, serta memberikan jawaban atas berbagai minat bergabungnya remaja dengan PMI. Nilai karakter yang digali melalui Tri Bakti sebagai berikut:
Tri Bakti PMR Nilai Karakter
Meningkatkan keterampilan hidup sehat Bersih, sehat
Berkarya dan berbakti di masyarakat Kepemimpinan, peduli, kreatif, kerjasama
Mempererat persahabatan nasional dan internasional Bersahabat, ceria
4. Pengakuan dan penghargaan
Peranan pembina PMR sangatlah penting dalam menyampaikan penghargaan dan pengakuan atas peran dan kegiatan PMR. Hal ini akan memberikan dampak yang besar dan sangat efektif. Pengakuan dan penghargaan bertujuan (1) memotivasi PMR agar tetap bersama dengan PMI, (2) ¦memberikan rasa bangga dan kesadaran akan kualitasnya bahwa meskipun masih, (3) remaja mereka dapat berperan untuk kemanusiaan, (4) meningkatkan kepercayaan diri dan komitmen, (5) meningkatkan kualitas kegiatan kepalangmerahan. Pengakuan dan penghargaan dapat diberikan dalam bentuk ucapan selamat, hadiah, sertifikat, plakat, pin uji syarat kecakapan, mengikutsertakan anggota PMR untuk pertukaran remaja dan konferensi, dan acara-acara khusus untuk penghargaan dan pengakuan anggota PMR. Nilai karakter yang digali adalah menghargai karya dan prestasi orang lain, demokratis
Agar anggota PMR dapat memanfaatkan dan mengembangkan seluruh kecerdasan dan potensi dalam penguasaan materi, pelatih, fasilitator, dan pembina PMR menggunakan berbagai metode dan media yang memberikan kesempatan mereka untuk terlibat dalam proses sehingga tertanam karakter
1. Fun learning
Proses belajar dan kegiatan menjadi aktivitas kehidupan riil yang dihayati dengan penuh kegembiraan. Itu membantu anggota PMR menikmati kegiatan dan membangun imaji tentang apa dan bagaimana seharusnya menjadi seorang anggota PMR. Contoh nilai karakter yang ditanamkan adalah berpikir logis, rasa percaya diri, mandiri
2. Learning by doing
Untuk menjadi lebih paham dan mengerti, anggota PMR hanya perlu difasilitasi dalam mempelajari sesuatu. Biarkan mereka mengamati, mengalami, merasakan, dan memahami berbagai macam perbedaan. Biarkan mereka yang merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi hasil kerja mereka. Contoh nilai karakter yang ditanamkan adalah, berpikir logis, kreatif, kerja keras.
3. Spider web
Setiap materi dan kegiatan saling terkait. Ketika belajar siaga banjir, maka akan belajar juga tentang Pertolongan Pertama pada luka atau sakit akibat banjir (diare, demam, akibat terbantur benda keras, luka lecet), sanitasi dan air bersih, belajar bagaimana menerapkan 7 Prinsip dan kepemimpinan jika memberikan pertolongan, cara-cara menyelenggarakan aksi donor darah untuk korban banjir, belajar kandungan gizi yang tepat jika akan menyumbang bahan makanan, bagaimana menyelenggarakan acara-acara untuk menghibur remaja dan anak korban bencana. Contoh nilai karakter yang ditanamkan adalah berpikir logis, peduli sesama, gotong royong
REFERENSI:
Juliati Susilo, dkk. 2008. Manajemen Palang Merah Remaja. Jakarta: PMI Pusat.
----------------------2010. Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.
Langganan:
Postingan (Atom)